Selasa, 05 November 2013

GANDHA RASA RESTO MASUK DALAM MAJALAH JEPANG




KUNJUNGAN KI AGENG S DEWANTARA KE GANDHA RASA RESTO

Beberapa waktu yang lalu Ganda Rasa Resto kedatangan beberapa tamu penting, salah satunya adalah Ki Ageng S Dewantara.

Siapakah Ki Ageng S Dewantara ?
Paranormal coba memasuki dunia seleb, mungkin suatu hal yang wajar. Tapi kalau seleb menjadi paranormal, ini yang 'tak wajar'. 

Seperti halnya Sony Dewantara, mantan aktor laga seangkatan Barry Prima dan Advent Bangun di era 80-an sampai 90-an. Kini ia bergelar H. Ki Ageng S Dewantara

Tidak ada lagi nama Sony, karena menurutnya masih berbau preman. Dan tak tanggung-tanggung, jabatan sebagai Ketua Ikatan Paranormal Indonesia pun dipercayakan padanya. 

Mantan top model Jatim 1986 ini, telah mengeluti profesi ini sejak 7 tahun lalu. Selama itu pula ia berhasil menyelamatkan sekitar 60 nyawa orang yang terkena penyakit medis maupun non medis.

Rabu, 10 Oktober 2012

ARCA LEMBU MAHA NANDI Rp. 60 MILYAR DIPAMERKAN DI GANDHA RASA RESTO UBUD

Dipastikan pada awal November 2012, Arca Lembu Maha Nandi seharga Rp 60 miliar dipamerkan di Gandha Rasa Resto



Arca Setinggi 7 Cm Dihargai Rp 60 Miliar


Sebuah arca seekor lembu dipamerkan di sela-sela pembukaan Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia 2011 dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi di ballroom Hotel Sheraton Surabaya, Jawa Timur, sejak Selasa (1/11/2011) kemarin.

Arca yang hanya berukuran panjang 15 cm, lebar 10 cm, dan tinggi sekitar 7 cm, dan berat 1,4 kg itu disebut sebagai Maha Nandi. Namun, yang mengejutkan adalah harga arca mini itu yang mencapai Rp 60 miliar.

Johan, dari lembaga motivator Total Quality Indonesia, menyebutkan, benda itu sekarang sudah masuk Benda Cagar Budaya yang dilestarikan. Selanjutnya, Total Quality mendapatkan hak untuk menyimpan dan merawatnya.

Besarnya nilai arca, disebutkan Johan, berdasarkan taksiran balai lelang di Singapura, yang kisaran harganya 2 juta dollar AS hingga 6 juta dollar AS. "Kalau kurs-nya 1 dolar Rp 10.000 kan bisa mencapai Rp 60 miliar,” kata Johan.

Lebih lanjut, Johan mengungkapkan, arca Maha Nandi itu ditemukan tahun 1998 oleh alm Poen Tjie Djang, warga kampung di sekitar daerah Candi Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Poen tidak sengaja menemukannya saat diri dia sedang menggali untuk pondasi pembangunan rumah baru.

Poen kemudian menyimpan begitu saja arca yang berbentuk lembu hitam dengan ekor dan kepala menengadah itu. Baru di tahun 2008, arca itu diberikan ke keluarga Yan Tek Hao, yang kemudian menunjukkan arca itu kepada Johan.

Oleh Johan, barang itu dilaporkan ke Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Tak hanya itu, ahli arkeolog juga turun serta melakukan penelitian.

Setelah meneliti selama tiga tahun diketahui bila arca itu terbuat dari perunggu dan merupakan barang yang dibuat di masa kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia. Sebutan Nandi sendiri berarti adalah "lembu". Lembu dikenal sebagai tumpangan Dewa Siwa di kebudayaan Hindu.

Hal itu juga tampak dari adanya bekas tanah yang menempel di arca yang sudah menempel dan tidak bisa diperbaiki. Dari pemeriksaan lanjut ditemukan pada bagian arca terdapat ukiran emas yang letaknya tidak beraturan. Ukiran emas itu terdapat di bagian punggung, leher, dan tempat tumpuan arca. Ukiran itu menunjukkan sebagai baju atau aksesori pada Nandi untuk menyatakan bila dia adalah hewan suci.

Tak hanya itu, saat di X-radiograph, di dalam arca terdapat titik yang tak tertembus. Titik itu berbentuk bulat, dan kemudian diyakini sebagai relik, yaitu sisa pembakaran dari jenazah orang suci atau darma yang ada dalam kepercayaan Buddha.

”Orang yang di abu jenazahnya ada relik ukurannya besar, berarti dia adalah orang yang sudah reinkarnasi sebanyak 5-6 kali dan selalu menjadi orang yang banyak berdarma,” kata Johan mengutip informasi yang disampaikan pemuka agama Buddha.

Sementara dari bentuk nandi berupa lembu dengan ekor dan kepala menengadah atau melihat ke atas yang menunjukkan bila lembu itu sedang bergembira.

Kini nandi itu sudah diakui sebagai barang cagar budaya yang harus dilindungi dan telah ditetapkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. ”Sesuai dengan UU itu, kami mendapat hak itu menyimpan dan merawatnya. Saat ini kami sudah sediakan tempat khusus, dan suhu khusus untuk menyimpannya,” ujar Johan.